Saturday, September 3, 2011

ILMU TAFSIR AL-QUR’AN


ILMU TAFSIR AL-QUR’AN

senantiasa belajar
A.                 Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.seperti pemakaiannya dalam firman allah :

وَلاَيَأْتُوْنَكَ بِمِشْلِ اِلاَّ جِئْنكَ بِا لْحَقِّ وَ اَ حْسَنَ تَفْسِيْرًا
Tidaklah orang orang kapir itu datang padamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang besar dan yang paling baik penjelasannya.*)
           
Kata tafsir berasal dari “al fasr”yang berarti”menjelaskan atau mengungkapkan”.ada pula yang mengungkapkan asalnya adalah dari kata “tafsirah”,yakni alat yang dipergunakan oleh dokter untuk memeriksa pasiennya.*)Dengan demikian tafsir sepanjang pengertian yang diberikan oleh bahasa berarti “ mengungkapkan sesuatu yang halus” dan “menjelaskan makna suatu yang dapat dipikirkan”. Arti yang kedua inilah yang erat hubungannya dengan tafsir al-Qur’an.
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
Jadi, Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama, dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmu.

ُAllah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat.
Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahihdalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.

Tujuan Tafsir :
          Tujuan dari mempelajari tafsir, ialah :memahamkan makna –makna Al- Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya,akhlaq-akhlaqnya, dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.Maka dengan demikian nyatalah bahwa, faidah yang kita dapati dalam mempelajari tafsir ialah : “terpelihara dari salh dalam memahami Al-Qur’an”Sedangkan maksud yang diharap dari mempelajarinya, ialah : “mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hukum-hukumnya degan cara yang tepat”.
B.   Sejarah Tafsir Al-Qur'an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :
  1. Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.

  2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.

  3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

C.     MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
Bila kita  perhatikan tafsir-tafsir yang tersiar dalam masyarakat, kita dapati para penulisnya menghadapkan tafsirnya pada beberapan jurusan.
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi beberapa bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )

1. Tafsir bil-ma’tsur

            Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt. Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat. Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka. Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.




2. Tafsir bir-ra’yi
Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata. Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain. Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:      
 - Tafsir Mahmud
 - Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.

b. Tafsir al MadzmumAdalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)
Firman Allah lagi:

قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ (الأعراف: 33)
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)

Juga sabda Rasulullah saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya:
“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.

3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )
Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.

D.     MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA

1. Metode Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

3. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.




E.     QAWAID TAFSIR

a. Pengertian Qawaid Tafsir

Menurut bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.

b. Macam-Macam Qawaid Tafsir

Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lebih dahulu harus tahu dan memahami beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan.
Ada beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :
1. Mantuq dan Mafhum
- Mantuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz dalam pembicaraan atau penuturan.
- Mafhum adalah makna yang dipahami bukan dari pembicaraan.

2. ‘Am dan Khash
- ‘Am adalah lafaz yang memberi pengertian umum yang mencakup segala sesuatu yang
termasuk dalam lingkungannya tanpa ada batasan dalam jumlah maupun dalam
bilangan.
- Khash adalah lafaz yang menunjuk kepada pengertian tertentu.

3. Mutlaq dan Muqayyad
- Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya
pada ayat lain.
- Muqayyad adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian, akan tetapi pengertian
tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat nas yang
lain.


4. Mujmal dan Mubayyan
- Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak terang dan
tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan penafsiran
yang lebih jelas.
- Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain.

5. Muhkam dan Mutasyabih
- Muhkam adalah nas yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti).
- Mutasyabih adalah nas yang mengandung pengertian yang samar-samar dan
mempunyai kemungkinan beberapa arti.

C. Kaidah-Kaidah Kebahasaan
Kaidah-kaidah kebahasaan yang perlu dipahami oleh para Mufasir banyak sekali. Namun dalam pembahasan kali ini hanya akan diungkap beberapa kaidah saja yang dianggap sangat penting, yaitu :
1. Dhamir
Pada dasarnya, dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk mengganti penyebutan kata-kata ynag banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan.
2. Isim Ma’rifah dan Nakirah
Masing-masing Ma’rifah maupum Nakirah mempunyai fungsi yang berbeda. Adapun penggunaan isim Ma’rifah
3. Mufrad dan Jamak
Sebagian lafaz dalam Al-Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonimnya (mufradif)nya.

F.  Kaidah Tafsir Ibnu Taimiah
§  Ilmu itu bisa berupa nukilan yang dibenarkan dari Al-Ma’shum dan bisa juga berupa pendapat yang mempunyai dalil yang jelas. Adapun selain dari itu maka kadang dia adalah igauan yang tertolak ataukah sesuatu yang mauquf (tidak jelas), tidak diketahui apakah dia bahraj (kotor) ataukah manqud (bersih).telah menjelaskan kepada para sahabatnya makna-makna Al-Qur`an sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada mereka lafazh-lafazhnya. Ini sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,r• Wajib untuk diketahui bahwa Nabi  “Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An-Nahl: 44) Penjelasan di sini mencakup ini (maknanya) dan itu (lafazhnya). Karenanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dalam tafsir Al-Qur`an sangat sedikit. Dan perbedaan pendapat ini di kalangan tabi’in -walaupun lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan kalangan sahabat- akan tetapi dia lebih sedikit jika dibandingan perbedaan yang terjadi di kalangan orang-orang setelah mereka (tabi’in).

§  Kapan sebuah zaman itu lebih mulia maka persatuan, kesatuan, ilmu, dan penjelasan juga lebih banyak.

§  Khilaf di kalangan para ulama salaf dalam masalah tafsir jumlahnya sedikit, sementara khilaf (perbedaan pendapat) mereka dalam masalah hukum-hukum (fiqhi) lebih banyak jumlahnya daripada khilaf mereka dalam masalah tafsir. Itupun kebanyakan khilaf yang betul terjadi di antara mereka, kebanyakannya kembali kepada khilaf yang bersifat tanawwu’ bukan khilaf yang bersifat tadhad (bertolak belakang). Khilaf yang bersifat tanawwu’ ini ada dua bentuk: Bentuk yang pertama: Setiap pihak di antara mereka yang berbeda pendapat mengungkapkan apa yang mereka maksudkan dengan ibarat yang berbeda dengan ibarat pihak lainnya, yang mana semua ibarat mereka (yang berbeda) itu menunjukkan suatu makna yang berbeda dengan makna ibarat yang lainnya, padahal sesuatu yang mereka semua coba mengungkapkannya adalah sesuatu yang sama. Hal ini seperti pada nama-nama yang al-mutakafi`ah yang berada di antara jenjang al-mutaradifah dan al-mutabayinah.

§  Setiap nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas zat-Nya sekaligus menunjukkan sifat-sifat yang terkandung dalam nama tersebut, dan juga menunjukkan sifat yang dikandung oleh nama lainnya dengan metode al-luzum (kelaziman). Ini adalah kaidah dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah.

§  Jika yang dimaksudkan oleh seorang penanya adalah penentuanal-musamma (pemilik nama) maka kita bisa mengungkapkannya dengan nama yang mana saja dari nama-nama yang ada jika zat pemilik nama ini sudah diketahui.

§  Jika yang menjadi tujuan sang penanya adalah mengetahui sifat khusus bagi Allah yang terkandung dalam nama-Nya, maka harus ada keterangan tambahan yang lebih dari sekedar menentukan (menyebutkan) al-musamma (pemilik nama). Misalnya dia bertanya dengan Al-Quddus, As-Salaam, Al-Mu`min, padahal dia sudah mengetahui kalau semua ini adalah (nama) Allah, hanya saja dia bertanya: Apa makna dari Allah itu Quddus, Salam, Mu`min, dan semacamnya.

§  Jika hal ini sudah diketahui maka ketahuilah bahwa para ulama salaf sangat sering mengungkapkan sesuatu dengan sebuah ibarat yang menunjukkan akan sesuatu tersebut, walaupun pada ibarat tersebut terdapat sifat yang tidak terdapat pada nama yang lainnya. Sudah dimaklumi bahwa hal seperti ini bukanlah khilaf tadhad sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang.

§  Walaupun manusia (para ulama, pent.) berbeda pendapat mengenai lafazh umum yang datang menerangkan sebuah sebab, apakah lafazh umum itu hanya berlaku untuk sebab itu saja ataukah tidak? akan tetapi tidak ada seorang ulama kaum muslimin pun yang berpendapat bahwa keumuman Al-Kitab dan As-Sunnah hanya berlaku khusus pada orang tertentu. Akan tetapi paling tinggi dikatakan, “Keumuman dalil tersebut hanya berlaku pada jenis orang (yang keadaannya, pent.) seperti itu, sehingga keumumannya berlaku dengan orang yang keadaannya mirip dengan keadaan orang tersebut, dan keumumannya tidak hanya berdasarkan lafazhnya.” Ayat yang (turunnya) mempunyai sebab tertentu jika dia berupa perintah atau larangan maka ayatnya berlaku bagi orang tersebut dan selainnya yang sama keadaannya dengan dirinya, dan jika ayatnya berisi pengabaran berupa pujian atau celaan maka ayatnya mencakup orang tersebut dan selainnya yang sama keadaannya dengan dirinya.

§  Ucapan mereka, “Ayat ini turun berkenaan dengan ini,” kadang bermakna itu adalah sebab turunnya dan kadang bermakna hal itu tercakup dalam makna ayat walaupun bukan merupakan sebab turunnya, sama halnya kalau dikatakan, “Yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah ini.”

§  Jika salah seorang di antara mereka menyebutkan sebuah sebab turunnya sebuah ayat lalu selainnya menyebutkan sebab yang lainnya maka bisa saja keduanya benar, bahwa ayat tersebut turun setelah terjadinya sebab-sebab yang mereka sebutkan itu, ataukah ayat tersebut turun sebanyak dua kali, pertama karena sebab yang ini dan yang kedua karena sebab yang itu. Kedua jenis pembagian tafsir yang telah kami sebutkan ini -yaitu terkadang dengan beragamnya nama dan sifat, dan terkadang dengan penyebutan sebahagian dari bagian-bagian dan macam-macam al-musamma (lafazh), misalnya penyebutan contoh-contohnya-, kedua jenis inilah yang sangat sering dijumpai dalam penafsiran para pendahulu umat ini, yang disangka oleh sebagian orang bahwa penafsiran mereka berbeda. Di antara bentuk perbedaan pendapat yang ada di tengah-tengah mereka adalah pada lafazh yang mengandung dua kemungkinan makna, apakah karena lafazh itu termasuk lafazh yang musytarik dalam bahasa Arab, seperti lafazh ‘qaswarah’ yang bisa bermakna ‘orang yang melempar’ dan bisa bermaka ‘singa’ dan juga lafazh ‘as’as’ yang bisa bermakna datangnya malam dan bisa juga bermakna ‘berlalunya malam’. Ataukah karena lafazh itu pada dasarnya adalah lafazh yang mutawathi` , akan tetapi yang dimaksudkan darinya adalah salah satu di antara dua bentuknya atau salah satu dari dua perkara yang menjadi maknanya, misalnya seperti dhamir-dhamir (kata ganti) pada firman-Nya, “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS. An-Najm: 8-9)

§  Karena at-taradif dalam bahasa Arab itu sedikit, adapun dalam Al-Qur`an maka kalau bukan jarang maka at-taradif seperti itu tidak ada ditemukan.

§  Dan orang-orang Arab biasa memasukkan (arab: at-tadhmin) ke dalam sebuah fi’il (kata kerja), makna fi’il yang lain dan menjadikannya muta’addi (butuh kepada objek) dengan ta’addi dari fi’il yang lain. Dari sini diketahui kelirunya orang yang menjadikan sebagian huruf bisa menggantikan kedudukan huruf lainnya.

§  Perbedaan pendapat bisa terjadi kadang dikarenakan dalilnya tersembunyi atau lupa akan dalilnya, terkadang dalilnya belum pernah dia dengar, terkadang akibat kekeliruan dalam memahami nash, dan terkadang karena dia meyakini ada dalil lain yang lebih kuat darinya.

§  Perbedaan pendapat dalam tafsir ada dua jenis: Di antaranya ada yang bersandar pada naql (penukilan) saja dan di antaranya ada yang diketahui dengan selain itu. Karena ilmu itu ada dua, apakah dia adalah penukilan yang benar ataukah istidlal (metode pendalilan) yang tepat. An-naql kadang merupakan nukilan dari al-ma’shum (Nabi) dan kadang dari selain al-ma’shum. Tujuan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jenis-jenis nukilan, baik yang berasal dari al-ma’shum maupun dari selain al-ma’shum, dan ini adalah jenis (ikhtilaf dalam tafsir) yang pertama. Di antara nukilan ini ada yang bisa diketahui mana yang shahih dan mana yang dhaif (lemah) dan di antaranya ada yang tidak bisa diketahui. Bagian kedua dari jenis nukilan ini yaitu semua nukilan yang tidak bisa kita pastikan kebenarannya, seluruhnya adalah masalah-masalah yang tidak ada manfaatnya dan berbicara tentangnya adalah pembicaraan yang tidak berguna. Adapun apa butuh diketahui oleh kaum muslimin, maka Allah Ta’ala telah meletakkan dalil (petunjuk) dari kebenaran tersebut.

§  Karenanya kapan para tabi’in berbeda pendapat maka ucapan sebagian mereka bukanlah hujjah untuk menolak pendapat sebagian lainnya. Adapun israiliyat yang dinukil dari sebagian sahabat dengan sanad yang shahih maka hati saya lebih tenang kepadanya dibandingkan apa yang dinukil dari sebagian tabi’in.

§  Adapun jenis yang pertama yaitu penukilan yang bisa diketahui mana yang shahih di antaranya, maka semuanya ada pada apa saja yang dibutuhkan, walillahil hamd.

§  Intinya, Allah telah meletakkan dalil-dalil pada setiap nukilan-nukilan yang dibutuhkan dalam agama, yang dengannya akan menjadi jelas mana yang shahih di antaranya dan mana yang bukan.

§  Jika hadits-hadits mursal diriwayatkan dari beberapa jalan dan di dalamnya tidak ada unsur perkumpulan dengan sengaja atau tidak sengaja (untuk mengarang hadits tersebut), maka hadits itu pasti shahih.

§  Dengan metode inil bisa diketahui benarnya semua penukilan -yang jumlah sanadnya berbilang lagi berbeda-beda- walaupun sanad kabar itu secara tersendiri tidaklah cukup (mtuk menjadikannya shahih, pent.), apakah karena haditsnya mursal ataukah karena lemahnya hafalan perawinya.

§  Kaidah asal ini hendaknya diketahui, karena dia adalah kaidah yang bermanfaat dalam pemastian (benar tidaknya) banyak nukilan dalam hadits, tafsir, al-maghazi, serta apa-apa yang dinukil berupa ucapan dan perbuatan orang-orang, dan selainnya.

§  Intinya, jika ada sebuah hadits yang panjang diriwayatkan dari dua jalan sanad yang berbeda -misalnya- tanpa adanya kesepakatan sebelumnya maka tidak mungkin hadits itu keliru sebagaimana tidak mungkin hadits itu adalah hadits yang palsu.

§  Karena mayoritas hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim adalah hadits yang dipastikan bahwa Nabi r mengucapkannya.

§  Karenanya mayoritas ulama dari seluruh kelompok berpendapat bahwa riwayat satu orang, jika umat telah sepakat untuk menerimanya, membenarkannya, dan mengamalkannya maka hadits tersebut mengharuskan adanya ilmu (keyakinan) terhadapnya.

§  Sebagaimana mereka menjadikan hadits rawi yang jelek hafalannya sebagai syahid dan i’tibar, maka mereka juga terkadang melemahkan hadits-hadits seorang rawi yang tsiqah, jujur lagi kuat hafalannya -yang nampak bagi mereka kalau dalam hadits itu mereka (para perawi tsiqah) keliru-, dengan beberapa argumen yang mereka jadikan sebagai alasan (dalam melemahkannya). Mereka menamakan ilmu ini dengan nama ‘ilmu ilal (cacat-cacat tersembunyi dari) hadits’, dan ini termasuk dari ilmu-ilmu mereka (para ahli hadits) yang paling tinggi kedudukannya.

§  Manusia dalam masalah ini ada dua kelompok (yang keliru, pent.): Kelompok ahli kalam dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang yang jauh dari pengenalan terhadap hadits dan ahli hadits, dia tidak bisa membedakan antara yang shahih dengan yang lemah, sehingga diapun ragu akan keshahihan beberapa hadits atau ragu dalam memastikan kebenarannya padahal hadits-hadits tersebut sudah diketahui secara pasti akan keshahihannya di kalangan para ulama ahli hadits. Kelompok yang lain dari kalangan orang-orang yang mengklaim mengikuti hadits dan mengamalkannya, sehingga setiap kali mereka menemukan suatu lafazh dalam sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah atau dia melihat sebuah hadits dengan sanad yang zhahirnya shahih, dia selalu menjadikannya termasuk jenis hadits yang dipastikan keshahihannya oleh para ulama ahli hadits. Sampai-sampai jika hadits (yang lahiriahnya shahih) itu bertentangan dengan hadits yang shahih lagi masyhur, maka dia akan memaksakan untuk mentakwilnya dengan takwil-takwil yang terkesan dipaksakan, atau dia menjadikan hadits itu sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu, padahal para ulama ahli hadits memastikan bahwa hadits semacam itu keliru. Sebagaimana hadits mempunyai tanda-tanda yang dengannya diketahui dia benar bahkan terkadang bisa dipastikan kebenarannya, maka demikian pula dia mempunyai tanda-tanda yang dengannya diketahui dia dusta bahkan dipastikan kalau dia dusta.

§  Hadits-hadits palsu dalam ilmu tafsir jumlahnya sangat banyak, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, dan Az-Zamakhsyari dalam masalah fadha`il semua surah dalam Al-Qur`an, surah per surah, karena para ulama sepakat bahwa dia adalah hadits yang lemah.

§  Adapun jenis yang kedua dari dua sebab terjadinya ikhtilaf , yaitu penafsiran yang diketahui dengan istidlal, bukan dengan penukilan. Kesalahan yang terjadi pada jenis ini kebanyakannya terjadi dari dua arah (yang akan disebutkan, pent.), yang keduanya muncul setelah penafsiran para sahabat, tabi’in, dan yang mengikuti mereka dengan baik.

§  Sisi (kesalahan) yang pertama: Kaum yang meyakini makna-makna tertentu lalu mereka mencoba untuk mengarahkan lafazh-lafazh Al-Qur`an kepada makna-makna tersebut.
Kedua: Kaum yang menafsirkan Al-Qur`an dengan apa saja yang diinginkan oleh orang-orang yang berbicara dengan bahasa Arab dengan lafazh tersebut -menurut mereka-, tanpa memperhatikan Siapa yang mengucapkan Al-Qur`an (Allah), siapa yang Al-Qur`an diturunkan kepadanya, dan siapa yang diajak bicara dengannya (para sahabat).

§  Kelompok yang pertama ada dua jenis: Terkadang mereka menolak apa yang ditunjukkannya dan yang diinginkan oleh lafazh Al-Qur`an, dan terkadang mereka mengarahkan lafazh tersebut kepada makna yang tidak ditunjukkan dan tidak diinginkan oleh lafazh tersebut. Dan pada kedua jenis ini, terkadang makna yang menjadi tujuan mereka untuk ditolak atau ditetapkan adalah kebatilan sehingga kesalahan mereka dalam hal dalil dan makna dalil, dan terkadang makna yang menjadi tujuan mereka itu benar sehingga kesalahan mereka dalam hal dalil bukan dari makna dalil (pendalilan).

§  Intinya, mereka semua meyakini sebuah pendapat kemudian mengarahkan lafazh-lafazh Al-Qur`an kepadanya, mereka tidak mempunyai salaf (pendahulu) dari kalangan para sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari para imam kaum muslimin, dalam pendapat mereka dan tidak pula dalam penafsiran mereka.

§  Di antara mereka ada yang bagus ibaratnya lagi fasih dalam berbicara akan tetapi menyusupkan bid’ah di dalam ucapannya -dalam keadaan banyak orang yang tidak mengetahuinya-, seperti penulis kitab Al-Kasysyaf dan yang semacamnya. Sampai-sampai penafsiran-penafsiran mereka yang batil ini tersebar luas dan laris di tengah orang-orang yang tidak meyakini kebatilan.

§  Secara umum, barangsiapa yang berpaling dari mazhab para sahabat dan tabi’in dan berpaling dari penafsiran mereka kepada penafsiran yang bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang melakukan kesalahan bahkan dia adalah seorang mubtadi’, tapi jika dia seorang mujtahid maka kesalahannya diampuni.

§  Sudah dimaklumi bersama bahwa setiap orang yang menyelisihi ucapan mereka pastilah akan menyebutkan suatu syubhat (kerancuan): Baik syubhat aqliyah (logika) maupun syubhat sam’iyah (dalil nash), sebagaimana yang dipaparkan pada tempatnya.

§  Tujuan dari semua ini adalah untuk mengingatkan sebab-sebab perbedaan pendapat dalam tafsir, bahwa di antara sebab terbesarnya adalah bid’ah-bid’ah yang batil dimana para pelakunya mengajak untuk memalingkan Al-Qur`an dari maknanya yang sebenarnya. Mereka menafsirkan ucapan Allah dan Rasul-Nya r dengan selain apa yang diinginkan darinya dan mereka mentakwilnya dengan takwil yang tidak benar.

§  Adapun mereka yang salah dalam hal dalil tapi tidak dalam madlul maka contohnya seperti kebanyakan orang-orang Shufiah, tukang-tukang ceramah, para fuqaha`, dan selain mereka. Mereka menafsirkan Al-Qur`an dengan makna-makna yang benar akan tetapi Al-Qur`an (ayat yang mereka tafsirkan tersebut, pent.) tidak menunjukkan hal tersebut.

§  Metode tafsir yang paling tepat dalam hal ini adalah menafsirkan (ayat) Al-Qur`an dengan (ayat) Al-Qur`an (lainnya). Jika kamu tidak sanggup melakukan hal tersebut maka hendaknya kamu mencari As-Sunnah.

§  Jika kita tidak menemukan penafsiran dari Al-Qur`an dan tidak juga dari sunnah maka kita kembali kepada ucapan para sahabat.

§  Hadits-hadits israiliyat ada tiga jenis: Yang pertama adalah: Apa yang kita ketahui kebenarannya berdasarkan dalil yang ada dalam syariat kita yang menyatakan kebenarannya, maka hadits itu juga benar.Yang kedua adalah: Apa yang kita ketahui kedustaannya berdasarkan syariat kita yang bertentangan dengannya. Yang ketiga adalah: Apa yang tidak dikomentari oleh syariat kita, bukan dari jenis yang pertama dan bukan pula dari jenis yang kedua, maka kita tidak boleh membenarkannya dan tidak juga mendustakannya, akan tetapi boleh menceritakannya berdasarkan dalil yang telah berlalu. Kebanyakan hadits jenis yang ketiga ini hanya berisi hal-hal yang tidak ada manfaatnya dalam hal keagamaan.

§  Ini adalah metode terbaik dalam membawakan perbedaan pendapat, yaitu menyebutkan semua pendapat yang ada dalam masalah tersebut, lalu disebutkan mana pendapat yang benar, lalu membantah pendapat yang batil, lalu disebutkan manfaat dan hasil dari perbedaan pendapat tersebut, agar perbedaan dan perselisihan pendapat itu tidak berkepanjangan pada apa-apa yang tidak ada manfaatnya sehingga bisa melalaikan dari sesuatu yang lebih penting daripada itu. Adapun menukil perbedaan pendapat dalam sebuah masalah lalu semua pendapat tidak disebutkan di situ maka ini adalah penukilan yang kurang, karena bisa saja kebenaran itu terdapat pada pendapat yang dia tidak sebutkan. Atau dia menukil perbedaan pendapat dan membiarkannya begitu saja tanpa menyebutkan mana pendapat yang benar, maka ini juga nukilan yang kurang. Jika dia menguatkan pendapat yang tidak benar dengan sengaja maka dia telah berdusta, atau karena kejahilan maka dia telah bersalah. Demikian halnya orang yang menyebutkan perbedaan pendapat pada permasalahan yang tidak ada manfaatnya atau dia menukil banyak pendapat yang berbeda-beda ibaratnya akan tetapi sebenarnya semua pendapat ini kembalinya kepada satu atau dua pendapat saja, maka orang seperti ini telah membuang-buang waktunya dan memperbanyak apa-apa yang tidak benar, maka dia bagaikan orang yang memakai dua pakaian kedustaan.
§  Jika kamu tidak mendapatkan penafsiran sebuah ayat di dalam Al-Qur`an, tidak juga dalam sunnah, dan kamu juga tidak mendapatkannya dari para sahabat, maka banyak di kalangan imam yang kembali dalam masalah ini kepada ucapan-ucapan para tabi’in.
§  Syu’bah bin Al-Hajjaj dan selainnya berkata, “Ucapan para tabi’in dalam masalah furu’ (cabang/fiqhi) bukanlah dalil, maka bagaimana bisa dia menjadi dalil dalam tafsir.” Maksudnya adalah bahwa dia bukanlah dalil atas ulama lain yang menyelisihinya, dan ini benar. Adapun jika mereka bersepakat pada suatu perkara maka tidak diragukan kalau dia adalah dalil yang kuat.
§  Adapun menafsirkan Al-Qur`an sekedar dengan pendapat maka itu adalah haram.

§  Karenanya barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur`an dengan pendapatnya maka dia telah membebani dirinya pada apa-apa yang dia tidak punyai ilmu padanya, dan dia telah menempuh jalan yang dia tidak diperintahkan untuk menjalaninya. Sehingga walaupun kebetulan ucapannya benar akan tetapi dia tetap bersalah karena dia tidak mendatangi ilmu ini dari pintunya. Seperti orang yang menjadi hakim di tengah manusia dengan kebodohan, maka dia berada dalam neraka walaupun hukumnya sebenarnya sudah benar, hanya saja kesalahannya lebih ringan dibandingkan orang yang hukumnya salah, wallahu a’lam.
Maka semua atsar sahabat ini dan yang semisalnya dari para imam salaf diarahkan maknanya bahwa mereka keberatan untuk berbicara dalam tafsir Al-Qur`an dengan apa yang mereka tidak punya ilmu padanya. Adapun yang berbicara di dalamnya dengan apa yang dia ketahui darinya dari sisi bahasa dan syariat maka tidak ada masalah baginya. Karenanya telah diriwayatkan dari mereka semua dan selainnya, ucapan-ucapan dalam tafsir, dan tidak ada kontradiksi di antara kedua nukilan ini, karena mereka berbicara pada apa yang mereka ketahui dan mereka diam dari apa yang mereka tidak ketahui.



Tajwid Q.S Al A’raf 3
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَنْ تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَنْ تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَالاَ تَعْـلَمــُونَ
1.     قـُلْ إِنَّمَا = gunah
2.     مَا = mad to bi’i
3.     مِنْهَا = idgom bigunah
4.      وَم =mad to bi’i
5.     وَٱلإِثـْمَ = alif lam Qomariah
6.     وَٱلْبَغْيَ = alif lam Qomariah
7.     بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ = madlyin
8.     وَأَنْ تـُشْــرِكـُواْ = ikhfamadthobi’i
9.     بِٱللّـَهِ=mad lafidz allah tafkhim
10. لَمْ= alif lam qomariah
11. وَأَنْ تَقـُولُواْ  = ikhfa
12. ٱللّـَهِ = mad lafidz allah tafkhim
13. مَالاَ= madthobi’i
14. تَعْـلَمــُونَ = mad aridlisukun

No comments:

Post a Comment