Saturday, September 3, 2011

Pentingnya Shalat


Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan HaditsNabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistemkeagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kitamenegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannyadengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yangdilakukan dengan penuh kekhusyukan.
[1]). Sebuah hadits Nabisaw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkantentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, makarusak pulalah seluruh amalnya."
[2] Dan sabda beliau lagi,"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepadaAllah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah."
[3] Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentangpentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumberagama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaikmungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarikkesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhanajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atausari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalamshalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidupkita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, TuhanYang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperolehpendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilaihidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwashalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagaitujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagaisarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur. Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram) Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsurbacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalatdirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nyadengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yangdibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), denganruntutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agamaIslam."
[4] Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbiratal-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadapTuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkandalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jikadisebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allahagar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolikterpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengantakbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikapmenghadap Allah. Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkandengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaanyang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepadaDia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secarahanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagimuslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik."
[5] Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darmabaktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alamraya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, danaku termasuk mereka yang pasrah (muslim)."
[6] Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukanhubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecualidalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalamliteratur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyangdipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontalsesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "haripembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,perantaraan, ataupun tolong-menolong.
[7] Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknyamenyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itusedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafisedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai denganmakna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung diSidrat al-Muntaha. Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salahsatu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafandiri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalandengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, danAllah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan."
[9] Bahwa shalat di syariatkan agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnyaakan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku!"
[10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berartikelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah jugaberarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidupdi dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dariAllah, dan kita akan kembali kepada-Nya".
[11] Maka dalamliteratur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk). Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentuakan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekertisedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allahdengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupunlogika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatuyang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekertiyang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialahyang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yangasal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakanpusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusiamenuju kebenaran (hanif). Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnyabaik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalumampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanyadengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampakpadanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagaiakibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karenaitu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebutmutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitusikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri daridikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca suratal-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadatitu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayatibenar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkanjalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itusetelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatandirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nyasebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang MahaPengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan MahaPenyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagaiPenguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdirimutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghambakecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanyakepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadaribahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untukmenemukan kebenaran. Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan dirikecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanyakepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakanoleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusahamengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arahjalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwakita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatuapapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasanpretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benaritu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allahbahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saatyang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kitatangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkanoleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri darikungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itumerupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itumerupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalahkamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnyarahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik."
[12].Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalamhidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkinmalah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kitamiliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidakbegitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapanyang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diriyan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat padawaktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnyaia menempuh jalan yang keliru.

No comments:

Post a Comment